Semangat Kerasulan Orang Beriman [28]
Pewartaan Injil untuk hari ini
Saudara dan saudari terkasih,
Beberapa kali terakhir kita melihat bahwa pewartaan Kristiani adalah sebuah sukacita, dan itu adalah untuk semua orang; hari ini kita akan melihat aspek ketiga: pewartaan Injil untuk hari ini.
Kita hampir selalu mendengar hal-hal buruk dibicarakan hari ini. Tentu saja, dengan adanya peperangan, perubahan iklim, ketidakadilan dan migrasi di seluruh dunia, krisis keluarga dan harapan, tidak celah untuk ketidakkhawatiran. Secara umum, masa kini tampaknya dihuni oleh budaya yang menempatkan individu di atas segalanya dan teknologi sebagai pusat segalanya, dengan kemampuannya memecahkan banyak masalah dan kemajuan besar di berbagai bidang. Namun pada saat yang sama, budaya kemajuan teknis-individu ini mengarah pada penegasan kebebasan yang tidak ingin membatasi dirinya sendiri dan tidak peduli pada mereka yang tertinggal. Oleh karena itu, hal ini membawa aspirasi manusia yang besar ke dalam logika ekonomi yang seringkali rakus, dengan visi hidup yang mengabaikan mereka yang tidak berproduksi dan berjuang untuk melihat melampaui hal-hal yang ada. Kita bahkan dapat mengatakan bahwa kita berada dalam peradaban pertama dalam sejarah yang secara global berupaya untuk mengatur masyarakat manusia tanpa kehadiran Tuhan, terkonsentrasi di kota-kota besar yang tetap horizontal meskipun terdapat gedung pencakar langit yang menjulang tinggi.
Kisah tentang kota Babel dan menaranya terlintas dalam pikiran (lih. Kej 11:1-9). Ini menceritakan sebuah proyek sosial yang melibatkan pengorbanan seluruh individualitas demi efisiensi kolektif. Umat manusia hanya berbicara dalam satu bahasa – kita dapat mengatakan bahwa ia memiliki “cara berpikir tunggal” – seolah-olah diselimuti semacam mantra umum yang menyerap keunikan masing-masing bahasa ke dalam gelembung keseragaman. Kemudian Tuhan mengacaukan bahasa-bahasa tersebut, yaitu Dia menegakkan kembali perbedaan-perbedaan, menciptakan kembali kondisi-kondisi untuk mengembangkan keunikan, menghidupkan kembali keberagaman di mana ideologi ingin menjatuhkan yang tunggal. Tuhan juga mengalihkan perhatian umat manusia dari delirium kemahakuasaan: “Marilah kita mengangkat nama kita”, kata penduduk Babel (ayat 4) yang mengagung-agungkan, yang ingin mencapai surga, untuk menempatkan diri mereka di tempat Tuhan. Namun hal ini adalah ambisi yang berbahaya, mengasingkan, dan merusak, dan Tuhan, dengan mengacaukan harapan-harapan ini, melindungi umat manusia, mencegah bencana yang akan datang. Kisah ini benar-benar tampak topikal: bahkan saat ini, kohesi, alih-alih persaudaraan dan perdamaian, sering kali didasarkan pada ambisi, nasionalisme, homologasi, dan struktur tekno-ekonomi yang menanamkan keyakinan bahwa Tuhan tidak penting dan tidak berguna: bukan karena seseorang mencari lebih banyak pengetahuan, tetapi yang lebih mementingkan banyak kekuatan kekuasaan. Ini adalah godaan yang meliputi tantangan-tantangan besar dalam budaya masa kini.
Dalam Evangelii Gaudium saya mencoba menggambarkan hal-hal lain (lih. no. 52-75), namun yang terpenting saya menyerukan “Apa yang diperlukan adalah evangelisasi yang mampu memberi terang kepada cara-cara baru berelasi dengan Allah, dengan sesama serta dengan dunia sekitar kita, dan yang membangkitkan nilai-nilai dasar. Evangelisasi ini harus menjangkau tempat-tempat di mana narasi-narasi dan paradigma-paradigma baru sedang dibentuk, dengan membawa sabda Yesus kepada relung terdalam jiwa-jiwa di kota-kota kita.” (no. 74). Dengan kata lain, Yesus hanya bisa diberitakan dengan cara hidup dalam budaya pada masanya; dan selalu mencamkan kata-kata Rasul Paulus tentang masa kini: “Sesungguhnya, waktu ini adalah waktu perkenanan itu; sesungguhnya, hari ini adalah hari penyelamatan itu” (2 Kor 6:2). Oleh karena itu, tidak perlu membandingkan masa kini dengan visi-visi alternatif di masa lalu. Juga tidak cukup hanya sekedar mengulang-ulang keyakinan agama yang sudah ada, yang betapapun benarnya, menjadi abstrak seiring berjalannya waktu. Suatu kebenaran menjadi lebih dapat dipercaya bukan karena seseorang meninggikan suara saat menyampaikannya, namun karena kebenaran tersebut menjadi kesaksian dalam kehidupannya.
Semangat kerasulan bukanlah sekadar pengulangan gaya yang sudah ada, melainkan kesaksian bahwa Injil masih hidup bagi kita saat ini. Menyadari hal ini, marilah kita memandang usia dan budaya kita sebagai sebuah anugerah. Mereka adalah milik kita, dan menginjili mereka tidak berarti menghakimi mereka dari jauh, juga tidak berdiri di balkon dan meneriakkan nama Yesus, melainkan turun ke jalan, pergi ke tempat di mana kita tinggal, mengunjungi tempat-tempat di mana kita berada, tempat dimana ada yang menderita, bekerja, belajar dan merenung, mendiami persimpangan jalan di mana manusia berbagi apa yang bermakna bagi hidupnya. Itu berarti, sebagai Gereja, menjadi ragi bagi “dialog, perjumpaan, persatuan. Bagaimana pun rumusan keimanan yang kita buat sendiri merupakan buah dialog dan perjumpaan antar budaya, komunitas, dan berbagai situasi. Kita tidak boleh takut akan dialog: sebaliknya, justru konfrontasi dan kritik yang membantu kita menjaga teologi agar tidak diubah menjadi ideologi” (Pidato pada Kongres Nasional Kelima Gereja Italia, Florence, 10 November 2015).
Penting untuk berdiri di persimpangan-persimpangan jalan saat ini. Meninggalkan mereka akan memiskinkan Injil dan menjadikan Gereja hanya sebuah sekte. Sebaliknya, dengan sering mengunjungi mereka, kita sebagai umat Kristiani akan terbantu untuk memahami dengan cara yang baru alasan-alasan pengharapan kita, untuk mengambil dan berbagi dari khazanah iman “harta yang baru dan yang lama dari perbendaharaannya” (Mat 13:52). Singkatnya, lebih dari keinginan untuk mempertobatkan dunia saat ini, kita perlu mengubah pelayanan pastoral agar dapat mewujudkan Injil dengan lebih baik pada masa kini (lih. Evangelii gaudium, 25). Mari kita menjadikan keinginan Yesus sebagai keinginan kita: membantu sesama peziarah agar tidak kehilangan kerinduan akan Tuhan, membuka hati mereka kepada-Nya dan menemukan satu-satunya yang ada pada hari ini dan selamanya, memberikan kedamaian dan kegembiraan bagi umat manusia.
.
Aula Audiensi Paulus VI
Rabu, 29 November 2023
