Melakukan Kebaikan yang Menghidupkan

Renungan Harian Misioner
Rabu Pekan Biasa II, 17 Januari 2024
P. S. Antonius

1Sam. 17:32-33,37,40-51; Mzm. 144:1,2,9-10; Mrk. 3:1-6; atau dr RUybs

Kisah Injil hari ini menampilkan Tuhan Yesus sebagai pribadi yang berani melawan tradisi keagamaan yang kaku demi kebaikan dan pemulihan orang yang menderita. Dikisahkan bahwa ketika Yesus masuk ke rumah ibadat, ternyata Ia mulai diamat-amati sekelompok orang yang tidak senang dengan diri-Nya, yaitu kaum Farisi.  Orang-orang Farisi itu datang terlebih dahulu ke rumah ibadat dan sudah melihat bahwa di tengah-tengah umat duduk seseorang yang mati sebelah tangannya. Mereka berpikir bahwa Yesus pasti akan menyembuhkan orang malang itu. Apabila Yesus benar-benar menyembuhkan orang yang bertangan mati itu, Yesus sesungguhnya adalah seorang pengacau, pelanggar tradisi dan penentang kuasa. Maka, tidak mengherankan bahwa akhirnya mereka memikirkan cara menyingkirkan Yesus (Mrk. 3:6). 

Yesus tahu bahwa diri-Nya sedang diamat-amati kaum Farisi. Yesus tahu pula bahwa orang yang bertangan ‘kering-kaku’pun sudah diamat-amati sebab orang itu sepertinya menyolok di tengah-tengah jemaat. Dalam keadaan demikian, Yesus tidak berpikir panjang, apalagi berpikir mengenai penilaian kaum Farisi yang ada di rumah ibadat itu terhadap diri-Nya. Yesus langsung memberi perintah tegas: “Mari, berdirilah di tengah!” (Mrk. 3:3). Orang yang bertangan mati itu menuruti perintah Yesus. Ia tentu merasa diperhatikan oleh Yesus dan yakin bahwa Yesus tidak bermaksud buruk. Kini, mata seluruh jemaat tertuju pada dua orang, yaitu Yesus dan orang yang bertangan ‘kering-kaku’ itu. Ketika mata semua orang yang ada di rumah ibadat, termasuk kaum Farisi, tertuju kepada-Nya dan orang malang itu, Yesus mengajukan pertanyaan: “Manakah yang diperbolehkan pada hari Sabat, berbuat baik atau berbuat jahat, menyelamatkan nyawa orang atau membunuh orang?” (Mrk. 3:4). 

Berhadapan dengan pertanyaan Yesus ini, jemaat dan kaum Farisi bungkam. Maka, Yesus sungguh berdukacita atas kedegilan mereka dan bahkan marah. Kemarahan Yesus muncul dari apa yang Ia ketahui, yaitu mereka telah menjadi begitu keras hati, begitu mengakar, begitu membatu dalam tradisi mereka sehingga kehadiran Anak Manusia yang adalah Tuhan atas hari Sabat pun tidak dapat menggoyahkan mereka dari jalan mereka!  Singkatnya, Yesus marah karena jemaat yang hadir di rumah ibadat itu tidak melakukan pilihan yang benar. Setelah itu, Yesus memberi perintah kedua: “Ulurkanlah tanganmu!” (Mrk. 3:5). Orang sakit itu menuruti Yesus untuk kedua kalinya: “Dan ia mengulurkannya, maka sembuhlah tangannya itu” (Mrk. 3:5). Yesus tidak mempedulikan peraturan-peraturan tradisi. Ia iba kepada orang-orang sakit dan menyembuhkan mereka, tanpa peduli akan harinya. 

Orang-orang Yahudi yang berpikiran religius dipenuhi dengan kemarahan dan penghinaan terhadap Yesus karena mereka menempatkan pemikiran mereka sendiri tentang benar dan salah di atas Tuhan. Mereka terjerat dalam legalisme mereka sendiri karena mereka tidak memahami atau melihat tujuan Tuhan atas perintah Sabat. Yesus menunjukkan kekeliruan mereka dengan menunjuk pada maksud Tuhan untuk hari Sabat: berbuat baik dan menyelamatkan hidup, bukan berbuat jahat atau membinasakan hidup (Mrk. 3:3). Jemaat tahu bahwa Yesus berbicara tentang menyelamatkan nyawa yang setiap hari harus diusahakan secara baru, sesuai dengan amanat Allah dalam Kitab Ulangan: “Ingatlah, aku menghadapkan kepadamu pada hari ini kehidupan dan keberuntungan, kematian dan kecelakaan” (Ul. 30:15). Tradisi Yahudi selalu menafsirkan isi Ul. 30:15 sebagai keharusan mutlak, yakni tidak ada satu hari pun yang membebaskan manusia dari kewajiban berbuat baik. Jadi, Yesus sesungguhnya tidak mengajukan pertanyaan kepada jemaat yang hadir di rumah ibadat, melainkan mengingatkan kewajiban utama mereka untuk memilih kehidupan. 

Apa yang bisa kita pelajari dari kisah ini? Sejak zaman para Rasul pertama, umat Kristiani secara tradisi merayakan hari Minggu sebagai Hari Tuhan (Why. 1:10; Kis. 20:7; Luk. 24:30; 1 Kor. 16:1-2) untuk beribadah bersama di sekeliling meja Tuhan (Ekaristi atau Perjamuan Tuhan) dan untuk memperingati karya penebusan Allah dalam Yesus Kristus dan karya penciptaan baru yang dicapai melalui kematian dan kebangkitan Kristus. Dengan kata lain, hari Minggu merupakan hari Sabat, hari Tuhan. Dalam konteks hari Sabat, mengambil “istirahat hari Sabat” adalah suatu cara untuk mengungkapkan rasa hormat kepada Allah atas semua yang telah Dia lakukan bagi kita di dalam dan melalui Yesus Kristus, Tuhan dan Penebus kita. Namun, “istirahat” seperti itu tidak membebaskan kita dari rasa cinta kita terhadap sesama. Kalau kita benar-benar mengasihi Tuhan di atas segalanya, maka kasih kepada Tuhan pun akan melimpah menjadi kasih terhadap sesama. Sabat adalah hari untuk kebaikan yang memberi kehidupan, bukan hari keburukan yang mematikan. Semoga kita menghormati Tuhan melalui cara kita merayakan hari Minggu, Hari Tuhan, dan cara kita memperlakukan sesama kita. 

Marilah mohon kekuatan dari Tuhan supaya kita mampu  berpegang teguh pada prinsip dasar yang diajarkan dan diteladankan oleh Yesus, yaitu tidak ada satu hari pun yang membebaskan kita dari kewajiban untuk berbuat baik.

(RP. Silvester Nusa, CSsR – Dosen Universitas Katolik Weetebula, NTT)

Doa Persembahan Harian

Allah, Bapa kami, kepada-Mu kupersembahkan hari ini. Kuhunjukkan semua doa, pikiran, perkataan, tindakan maupun suka-dukaku hari ini dalam kesatuan dengan Putra-Mu Yesus Kristus, yang senantiasa mempersembahkan Diri-Nya dalam Ekaristi bagi keselamatan dunia. Kiranya Roh Kudus, yang menjiwai Yesus, juga menjadi Pembimbing dan Kekuatanku hari ini sehingga aku siap sedia menjadi saksi Kasih-Mu.

Bersama Santa Maria, Bunda Yesus dan Bunda Gereja, secara khusus aku berdoa bagi ujud-ujud Bapa Suci dan para rasul doa Gereja Indonesia untuk bulan ini:

Ujud Gereja Universal: Karunia keberagaman dalam Gereja – Semoga Roh Kudus menuntun kita untuk mengenali anugerah berbagai karisma dalam komunitas Kristiani dan menghargai kekayaan berbagai tradisi dan ritus dalam Gereja Katolik. 

Ujud Gereja Indonesia: Keluarga muda – Semoga keluarga-keluarga muda menemukan ruang pribadi yang intim dan penuh cinta Ilahi di tengah kesibukan kerja, rumah tangga dan peran dalam Gereja dan masyarakat. 

Tinggalkan komentar