06 Agustus 2022
Hotel Atanaya, Kuta Bali
Hari ke-3 Pernas KKI IX dibuka dengan misa pagi. Sesi pertama diisi dengan kehadiran DR. Harla Octarra, M.Sc. Perempuan yang masih cukup muda ini merupakan pakar dalam bidang hak dan perlindungan anak. Sesi yang dibawakannya bertema: “Perlindungan dan Pemenuhan Hak Anak melalui Gereja Katolik Ramah Anak”.

Di awal sesi DR. Harla mengajak para peserta Pernas IX untuk berdiri, ikut bermain sekaligus sebagai momen untuk mengetahui pemahaman para peserta Pernas KKI IX seputar anak, hak dan tanggung jawab anak.

“Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan” (UU PA 35/2014)
DR. Harla Octarra, M.Sc menekankan bahwa terlepas apakah anak memiliki kebutuhan khusus atau menderita sakit penyakit tertentu, atau berada di tempat tertentu: anak jalanan, tinggal panti, dll, setiap anak memiliki hak yang sama. Kebutuhan setiap anak mungkin berbeda tergantung pada gender, masa perkembangannya, kekhususan yang dimilikinya, dll, namun setiap anak memiliki hak yang sama.

Perwujudan Hak-hak Anak: Rumah Ibadah Ramah Anak
Mengenai rumah ibadah ramah anak, DR. Harla mengingatkan bahwa tidak harus membangun fasilitas baru, tapi fokus pada peningkatan fungsi/kualitas menjadi ramah anak. Hal-hal tersebut antara lain: tempat yang aman, fasilitas sesuai kebutuhan anak, program dan kegiatan inklusif anak dari perencanaan hingga evaluasi, kebijakan yang berpihak dan melindungi anak.

Sesi berikutnya dibawakan oleh RD. Servulus Juanda (Dirdios KKI K. Ruteng) dengan topik: “Best Practice Gereja/Paroki Katolik Ramah Anak.” Romo Servulus mempresentasikan penggembalaan terhadap isu anak, menuju paroki ramah anak Keuskupan Ruteng.

Banyak kegiatan, sosialisasi, edukasi perlindungan anak, dialog dan juga pendampingan anak korban kekerasan yang telah dilakukan Keuskupan Ruteng ke paroki-paroki maupun ke kecamatan-kecamatan dan pemerintah daerah.

Sesi ke-3 diisi oleh RD. M Nur Widipranoto dengan Sosialisasi Pedoman RIRA GKRA. Romo mengatakan Gereja Katolik Ramah Anak merupakan urusan penting dan mendesak, tidak berangkat dari problem atau kasus. Melainkan antara lain karena merupakan panggilan/perutusan dari Tuhan, dan menunjukkan komitmen serta keseriusan Gereja terhadap pemenuhan hak dan perlindungan anak. Berbicara mengenai Gereja Katolik Ramah Anak (GKRA), Romo mengatakan salah satu perwujudan GKRA adalah pemenuhan hak anak di rumah ibadah atau gereja Paroki/Stasi. Demi akuntabilitas institusional dan pelayanan serta dengan tetap mengindahkan asas-asas dan kaidah-kaidah tentang rumah ibadah Gereja, Gereja Katolik berupaya menghadirkan Gereja paroki sebagai rumah ibadah yang aman dan nyaman bagi tumbuh kembang anak dengan menjamin terpenuhinya hak-hak anak melalui berbagai kegiatan positif, inovatif, dan kreatif yang terintegrasi dengan kegiatan-kegiatan Gereja.

Pencegahan dan Penanganan
Dr. Harla menekankan hal pencegahan dan penanganan pada sesi tanya jawab, ketika diminta untuk memberikan pendapatnya. Dalam pencegahan, perlu adanya perubahan paradigma dan perilaku, melihat anak sebagai sosok yang perlu dilindungi namun juga memiliki kompetensi. Bagaimana memastikan kegiatan-kegiatan di Gereja bisa memaksimalkan kompetensi anak. Sehingga anak datang ke Gereja merasa aman (dari bullying, pelecehan, pelantaran) dan juga nyaman (perlakuan, sarana prasarana). Anak jangan dianggap sebagai penerima pasif, perlu diadakan sosialisasi pada anak sehingga anak diajak berpikir. Anak dapat bertanya apa implikasi dari haknya ketika ia berada di Gereja, di rumah, di sekolah?
Mengenai penanganan terkait kasus-kasus pada anak sebagai korban, harus sampai kepada rehabilitasi dan integrasi. Rehabilitasi mensyaratkan korban menjadi pulih, apakah secara fisik atau secara psikologis. Dan integrasi artinya anak-anak bisa kembali ke masyarakat atau Gereja.










Dengarkan Suara Anak
Bukan sekali, DR. Harla mengingatkan, kita harus dengarkan suara anak. Sering sekali orang dewasa tidak bertanya pada anak, apa yang diinginkan anak. Suara anak tidak didengarkan.
Modelling
Pentingnya “modelling” pada anak. Menurut DR. Harla menghadapi anak-anak yang memiliki perilaku yang menyimpang, misalnya kerap memaki, yang harus dilakukan pertama-tama adalah bagaimana memulai dialog dengan mereka. Jika dialog sudah terjadi maka pintu masuk telah terbuka. DR. Harla mengatakan bahwa perilaku menyimpang tersebut terjadi karena anak tak memiliki contoh lain yang berbeda, sehingga Imam yang hadir bisa memberikan contoh perilaku baru atau lain, menjadi role model bagi anak tersebut, karena anak-anak merupakan pengamat.
(Angel – Biro Nasional Karya Kepausan Indonesia)