Menumbuhkan Rasa Cinta Panggilan Hidup Bakti pada Anak-Anak

Yesus amat sayang pada anak-anak, ingin dekat, memberkati, dan membela kehidupan mereka. Bahkan disabdakan-Nya, bila kita tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil, kita tidak dapat masuk ke dalam Kerajaan Sorga. Mereka, insan pembelajar, mengetahui dari apa yang dialaminya. Mereka dekat dengan siapa, maka mereka akan menjadi siapa. Dekat dengan Yesus akan menjadi seperti Yesus.

Yesus lahir di tengah keluarga, Yosep dan Maria. Ia menjadi Immanuel, Allah beserta kita. Allah juga hadir di tengah keluarga kita masing-masing. Asalkan keluarga kita juga merupakan suatu persekutuan umat beriman. Karena Yesus bersabda, “Di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, Aku berada di tengah-tengah mereka” (Mat 18:20). Bahkan penyertaan-Nya dalam kesetiaan, “Aku akan menyertai kamu senantiasa sampai akhir zaman” (Mat 28:20b). Lalu, apakah keluarga kita sudah mampu mewujudkan persekutuan yang demikian?

Yesus secara fisik tidak kita lihat sekarang. Namun anak-anak ingin melihat orang-orang yang menampilkan wajah Yesus di dunia ini. Dari bapa dan ibunyalah anak-anak dapat mengenal Yesus. Dari keluarga yang merupakan pendidik pertama dan utamalah mereka mencintai Yesus. Sekolah lebih pada soal intelektual, masyarakat pengembangan sisi sosial, Gereja pada spiritual, namun dalam keluarga hendaknya mendapatkan semuanya itu.

Menumbuhkan Panggilan Hidup Bakti

Namun, berkaitan dengan panggilan Hidup Bakti, panggilan menjadi biarawan-biarawati, bagaimana mereka dapat mengenalnya? Tak kenal maka tak sayang. Maka baik apabila anak-anak juga diperkenalkan dengan mereka, yaitu dengan cara mengunjungi biara-biara, tempat-tempat pendidikan para bruder-frater, suster, seperti di novisiat-novisiat atau di seminari-seminari. Agar mereka melihat dari dekat kehidupan orang-orang yang mendedikasikan, membaktikan, mendevosikan, mengarahkan, memfokuskan hidupnya kepada Yesus dan Kerajaan-Nya, lewat penghayatan kaul-kaul (kemiskinan, ketaatan, kemurnian). Sehingga para penghayat Hidup Bakti dan kehidupannya tidak menjadi asing dari anak-anak.

Menurut penyelidikan, manusia belajar melalui indra perasa (1%), peraba (1,5 %), penciuman (3,5 %), pendengaran (11,5 %), dan penglihatan (83 %). Tampak sekali yang sangat dominan informasi yang paling mudah dan efektif diserap adalah penglihatan. Penglihatan ini akan lebih mujarab lagi bila dikuatkan dengan cara mengalami. Maka, bila tidak memungkinkan anak-anak kunjungan ke tempat-tempat (pendidikan) biarawan-biarawati, para biarawan-biarawatilah yang berkunjung ke tempat-tempat umat (mengumat, live in), sehingga bukan hanya pastor yang melayani Misa ke stasinya saja yang dilihat dan itu pun hanya sekejap numpang lewat.

Harapan Bapa Paus Fransiskus agar gembala (pastor) berbau domba (umat) memang masih harus banyak diperjuangkan, sehingga si pastor tidak tinggal diam dalam zona aman di pastoran. Pelayanan yang murah hati harus tumbuh terus bersemi subur berkembang dan berbuah.

Sebagai seorang imam, saya masih memiliki banyak kelemahan dalam hal ini. Senyatanya pastor-pastor zaman ini perlu menimba semangat dari para pendahulu dari negeri sebrang (asing) yang militan. Bisa saja berdalih bahwa zaman sudah berubah dan umat bertambah banyak urusan juga berkembang. Tetapi zaman pastor Belanda dulu masih terbayang dalam ingatan betapa luas medan layanan dan alangkah buruknya kondisi jalan, mereka masih mengunjungi keluarga-keluarga dan mengenal para umatnya.

Berfokus pada Anak-Anak

Sebagai anak, saya dulu sering mengenal lebih dekat dengan pastor dan suster dari seringnya kunjungan mereka ke rumah. Begitu seringnya mereka bertamu dan bertemu dengan keluarga kami, maka mereka dan kami saling mengenal. Sejauh pengamatan saya sebatas anak, wajah mereka senantiasa memancarkan sukacita. Padahal kehidupan saat itu terbatas, tidak jarang pastor harus menuntun motornya karena ban kempes atau mogok, terlambat Misa sebab kepleset di jalan berlumpur, dan sebab-sebab lain.

Bangunan pastoran tak semegah dan semewah sekarang. Fasilitasnya pun serba terbatas. Tetapi para misionaris dulu sungguh dengan totalitas hidupnya, mencintai Tuhan Yesus lebih dari siapa pun. Mencintai Allah dengan segenap hati, jiwa, budi, dan kekuatan (bdk. Mrk 12:30-31). Kini segalanya telah menjadi ringan dan mudah. Wilayah paroki kian menyempit, jalan kian mulus, sarana komunikasi makin lancar, dan sebagainya.

Saya katakan kepada anak-anak, siapa yang mau menjadi imam atau suster, tidak perlu beli tanah, rumah, dan semua isinya, telah tersedia. “Siapa yang akan menempati pastoran ini? Mengurus rumah sakit itu? Sekolahan sana? Siapa yang akan bekerja melayani? Siapa yang akan khotbah di mimbar ini? Semua milik Gereja? Siapa yang akan menjadi pelayan Gereja? Nantinya adalah anak-anak ini?” Demikian pernah saya katakan. Anak-anak adalah harapan Gereja masa depan, entah lima, sepuluh, dua puluh, atau tiga puluh tahun ke depan? Anak-anak seperti mereka ini nantinya yang ada di sini dan di sana? Tetapi apa yang akan terjadi nanti, sudah kita pikirkan dan lakukan hari ini juga.

Sebagai orang tua, tugasnya bukan mencegah anak-anak datang kepada Yesus, namun malah memberikan dorongan baik dengan doa, dana, dan kesaksian hidup beriman yang baik. Mulai mengajari mereka membuat Tanda Salib, mengajaknya berdoa, ke gereja, kegiatan sekolah minggu, dan terlibat aktivitas misdinar, serta lainnya. Kita harus memberikan ruang yang seluas-luasnya bagi mereka untuk berkreasi. Mereka bisa bermain drama, menari, menyanyi, berpuisi, melukis, dan apa saja. Dan betapa lucunya ketika mereka melakukan hal-hal itu, meskipun mereka itu sungguh serius.

Hendaknya setiap acara tidak dimonopoli oleh para orang muda saja atau bahkan para orang tua. Lalu anak-anak menjadi terpinggirkan. Kita ingat, ketika para rasul Yesus melarang anak datang mendekati Yesus, Yesus malah menempatkan mereka di tengah-tengah mereka. Mengabaikan dan meremehkan anak-anak sama saja melalaikan dan merendahkan masa depan, baik Gereja maupun bangsa.

Maka  adalah tugas orang tua, tugas sekolah, tugas Gereja, dan tugas masyarakat untuk menyayangi mereka. Semua bertugas untuk mengasih, mengasah, dan mengasuh mereka agar terhindar dari pengaruh dan perlakuan buruk dan mendapatkan bimbingan yang baik. Semoga di Tahun Lembaga Hidup Bakti ini, anak-anak mejadi subyek atau fokus perhatian dari setiap kegiatan yang akan diadakan oleh berbagai ordo dan kongregasi di seluruh penjuru Nusantara.

Tuhan memberkati.

 

 Andreas Basuki W.

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s