Sintang – 19 November 2019. Toleransi adalah kata yang tepat untuk menggambarkan kota Sintang, tempat diadakan nya acara seminar sehari yang masih dalam rangka bulan misi luar biasa. Baliho besar bertajuk “Dibaptis dan Diutus – Seminar Misi dalam Rangka Merayakan 100 Tahun Maximum Illud” terpampang di pertigaan jalan yang tidak terlalu jauh dari bandara, menunjukkan bahwa kegiatan ini dapat diterima dan didukung oleh berbagai pihak yang ada di kota ini.
Di Paroki Kristus Raja – Gereja Katedral Sintang, acara sudah berlangsung sejak siang hari pukul 14.00 WIB dan para peserta sekurang-kurangnya 500 orang yang datang dari berbagai penjuru di sekitar Keuskupan Sintang, tampak antusisas mengikuti sesi-sesi yang berlangsung. Mereka sebagian besar terdiri dari para guru, mahasiswa, katekis, para aktivis dan pembimbing-pembimbing kegiatan rohani, namun banyak juga umat yang hadir turut antusias mengikuti acara ini.
Sesi pertama yang disampaikan oleh Rm. Rafael Lepen, SMM dengan ulasan materi: Misi dan Identitas Kekatolikan. Menjelang sore, sesi sharing disampaikan oleh salah satu tokoh umat, Pak Mursidi, sebagai awam yang sudah bermisi selama kurang lebih 30 tahun. Sesi-sesi yang telah berlangsung ini cukup menarik para peserta yang terlihat antusiasme nya melalui sesi tanya jawab dengan narasumber.
Pada acara ini hadir pula sebagai narasumber, direktur nasional Karya Kepausan Indonesia (KKI) sekaligus sekretaris Komisi Karya Misioner (KKM-KWI), Rm. Markus Nur Widipranoto Pr, yang pada sore hari mengisi sesi ulasan materi Maximum Illud dan berikut ulasan materi Misi Ad Intra dan Ad Extra pada malam harinya. Rm. Nur Widi menyampaikan latar belakang diadakan nya bulan misi luar biasa ini, yaitu 100 tahun setelah diterbitkan nya dokumen misi Maximum Illud oleh Paus Benediktus XV, yang menjadi cikal bakal misi modern saat ini. Namun keprihatinan juga disampaikan secara eksplisit, melalui presentasi yang ditampilkan, bahwa jumlah persentase umat Katolik di Indonesia dan bahkan seluruh dunia yang semakin menurun belakangan ini, dan disinilah seharusnya semangat bermisi kita semua semakin terbakar, dimana yang harus bergerak bukan hanya golongan klerus dalam gereja, namun ini harus menjadi tugas dan kewajiban semua umat dan awam Katolik yang sudah dibaptis.
Yang diharapkan setelah berlangsungnya acara ini adalah, kesadaran umat awam yang selama ini masih nyaman “tertidur”, untuk dapat melakukan gerakan yang bukan hanya secara rohani ke dalam, namun juga keluar dari dalam dirinya untuk dapat mewartakan injil dan kabar gembira Kerajaan Allah melalui sikap, perkataan dan perbuatan baik kepada siapapun tanpa membeda-bedakan, serta keterlibatan dalam berbagai kegiatan kerohanian ataupun sosial masyarakat, baik di dalam maupun di luar gereja.
Salam khas dari masyarakat Dayak pun sudah selaras dengan semangat misi, yakni: “Adil Ka’ Talino, Bacuramin Ka’ Saruga, Basengat Ka’Jubata”, bahwa dalam hidup ini kita harus bersikap adil, jujur tidak diskriminatif, terhadap sesama manusia, dengan mengedepankan perbuatan-perbuatan baik seperti di surga berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Salam misioner.
(Adr – BN-KKI)