Impian Paus dan Martin Luther King

“Impian” atas kesetaraan penuh bagi orang-orang Afrika-Amerika di Amerika Serikat telah menemukan titik temu yang sama atas dukungan penuh semangat dari Paus Paulus VI hingga kepada Paus Fransiskus. Mereka telah mengangkat Dr. Martin Luther King Jr sebagai contoh yang layak diikuti dalam perjuangan tanpa kekerasan untuk kesetaraan.


Kematian tragis George Floyd secara dramatis menunjukkan bahwa impian Martin Luther King masih jauh dari kenyataan.

Namun pidato bersejarah “I dream”, yang disampaikan oleh pemimpin gerakan hak-hak sipil pada 28 Agustus 1963 – 57 tahun yang lalu – terus bergema pada ucapan dan hati orang-orang yang menuntut keadilan dan martabat bagi masyarakat Afrika-Amerika dan bersamaan dengan itu, untuk semua kaum minoritas dimana pun sepanjang masa.

“Impian” itu, yang berakar pada Injil dan dalam kuasa kasih Allah yang membebaskan, telah menemukan satu pemikiran sama yang luar biasa oleh Paus-Paus berikutnya.

Paus St. Paulus VI

Yang pertama adalah St. Paulus VI yang menerima perwakilan pendeta Baptis di Vatikan pada 18 September 1964, dan mendorongnya untuk melanjutkan komitmen damai melawan diskriminasi rasial.

Empat tahun kemudian, Paus yang sama menerima dengan cemas berita tentang pembunuhan Martin Luther King Jr pada 4 April 1968 di Memphis, Tennessee. Tiga hari kemudian, pada Minggu Palma, Paus Paulus VI memanggil kembali sosok pemenang Hadiah Nobel Perdamaian tersebut dengan kata-kata aktualitas yang luar biasa.

37879

Paus berdoa pada tragedi tersebut “diambil nilai pengorbanannya. Bukan kebencian, bukan pembalasan. Jurang baru antara warga negara dari tanah besar dan mulia yang sama seharusnya tidak diperdalam,” dia memperingatkan. “Sebaliknya, tujuan bersama yang baru yaitu pengampunan, perdamaian, rekonsiliasi, dalam kesetaraan hak-hak bebas dan adil, harus menggantikan diskriminasi dan perjuangan yang tidak adil saat ini. Rasa sakit kita menjadi lebih besar dan lebih menakutkan karena reaksi keras dan tidak teratur yang diprovokasi kematiannya yang menyedihkan. Tetapi harapan kita juga tumbuh ketika kita melihat bahwa di sisi-sisi yang bertanggung jawab dan dari hati yang sehat tumbuh keinginan serta komitmen untuk menarik pesan moral dari pembunuhan Martin Luther King yang tak terkalahkan dalam mengatasi penanggulangan rasial yang efektif, dengan harapan menetapkan hukum dan metode koeksistensi yang lebih dalam, sesuai dengan peradaban modern dan persaudaraan Kristen.”

Paus Yohanes Paulus II

Dua puluh tahun kemudian, pada 12 September 1987, seorang Paus Suci lainnya mengenang mimpi pemimpin Afrika-Amerika tersebut. Santo Yohanes Paulus II berada di New Orleans ketika dia bertemu Komunitas Katolik kulit hitam di kota itu. Karol Wojtyla mengingat perjalanan panjang dan sulit dari komunitas Afrika-Amerika untuk mengatasi ketidakadilan dan untuk membebaskan diri dari beban penindasan.

“Di saat-saat paling sulit dalam perjuangan Anda sekalian untuk memperoleh hak-hak sipil di tengah-tengah diskriminasi dan penindasan”, ia menekankan, “Allah sendiri membimbing langkah Anda di sepanjang jalan damai. Di hadapan saksi sejarah, tanggapan anti-kekerasan berdiri tegak, dalam ingatan bangsa ini, sebagai monumen kehormatan bagi komunitas kulit hitam Amerika Serikat.”

Paus Yohanes Paulus II berbicara tentang “peran takdir” yang dimainkan oleh Martin Luther King Jr “dalam berkontribusi pada perbaikan kualitas manusia Amerika kulit hitam yang sah dan oleh karena itu bagi peningkatan masyarakat Amerika itu sendiri.” Seperti Paus Paulus VI, ia menemukan kedekatan khusus dengan visi Kristen tentang persaudaraan manusia yang berinkarnasi oleh seorang Pastor dari Atlanta yang percaya, hingga pada titik pengorbanan terakhirnya, dalam tindakan iman yang membebaskan dalam Kristus.

Paus Benediktus XVI

Visi ini juga dirujuk oleh Paus Benediktus XVI yang, dalam upacara penyambutan di Washington pada 16 April 2008, menekankan bahwa iman kepada Allah telah menjadi “inspirasi dan kekuatan pendorong yang konstan” dalam perjuangan yang dipimpin oleh Martin Luther King Jr “melawan perbudakan dan dalam gerakan perjuangan hak-hak sipil ”.

Paus Benediktus mengonfirmasi kata-kata itu dua hari kemudian ketika dia bertemu dengan putri Pendeta King, Bernice Albertine, di tepi perayaan ekumenis di New York.

Paus Fransiskus

Tujuh tahun kemudian: untuk pertama kalinya dalam sejarah, seorang Paus lainnya berbicara kepada Kongres Amerika Serikat dalam sesi bersama.

Di Capitol Hill, Paus Fransiskus menyampaikan pidato tentang semangat Amerika Serikat, mencatatkan bahwa “Suatu bangsa dapat dianggap hebat ketika bangsa itu dapat menumbuhkan budaya yang memungkinkan orang untuk ‘memimpikan’ hak penuh untuk semua saudara dan saudari mereka, seperti yang berusaha dilakukan Martin Luther King Jr”. Bagi Paus, “mimpi itu terus mengilhami kita semua” karena membangkitkan “apa yang paling dalam dan sejati dalam kehidupan umat”. Dan, seperti yang telah dia lakukan pada banyak kesempatan lain, dia menekankan bahwa impian-impian semacam ini bukanlah tujuan dalam diri mereka sendiri tetapi “mengarah pada tindakan, kepada partisipasi, kepada komitmen.”

Paus Fransiskus, seperti pendahulunya, juga bertemu dengan putri Pendeta Afrika-Amerika itu, yang juga seorang aktivis hak-hak sipil. Kali ini audiensi dengan Bernice Albertine berlangsung di Vatikan, pada 12 Maret 2018. Pertemuan itu bersifat pribadi, tetapi sangat penting karena terjadi tiga minggu sebelum peringatan 50 tahun pembunuhan Martin Luther King Jr.

Seperti yang dituliskan Paus dalam Pesannya untuk Hari Perdamaian Dunia 2017, Martin Luther King Jr mencapai keberhasilan melawan diskriminasi rasial yang “tidak akan pernah dilupakan.”

Cara keberhasilan ini telah dicapai, sama pentingnya dengan hasil itu sendiri. “Praktek antikekerasan yang tegas dan konsisten,” tulis Paus Fransiskus, “telah menghasilkan hasil yang mengesankan.”

Sebaliknya, ketika ia menyatakan di Audiensi Umum Rabu pagi ini, beliau mengalihkan pikirannya ke apa yang terjadi di seberang Atlantik, “tidak ada yang diperoleh melalui kekerasan dan banyak yang hilang.”

 

Oleh Alessandro Gisotti – Vatican News
Terj. BN-KKI

Tinggalkan komentar