Seorang pewarta Injil, adalah seorang yang mewartakan Kabar Sukacita, Kabar Gembira, Kabar Keselamatan dari Tuhan Yesus Kristus. Ia belajar untuk mengikuti Roh Kudus, yang akan selalu menggerakkan hatinya, dan membawa banyak orang kepada kehendak Allah.
Seorang pewarta sabda Allah, adalah orang yang mau terbuka bagi Karya Roh Kudus. Roh Kudus lah yang memegang peranan dalam kehidupannya. Roh Kudus yang menggerakkan hatinya untuk ikut ambil bagian dalam karya pewartaan Injil, seperti yang diperintahkan Tuhan Yesus kepada para murid-Nya. Ketika hari Pentakosta, para murid dengan gagah berani mewartakan Yesus Kristus yang disalibkan telah bangkit. Roh Kudus mengubah hati mereka yang takut menjadi sebuah keberanian dan melakukan perbuatan-perbuatan ajaib. Roh Kudus juga memberikan keteguhan hati untuk mewartakan Kabar Sukacita tentang kebangkitan Tuhan dengan keberanian. Zaman sekarang ini, “Yesus menginginkan para pewarta Injil untuk menyampaikan kabar baik bukan hanya dengan kata-kata, melainkan terutama melalui hidup yang diubah oleh kehadiran Allah” (bdk. EG. Art. 259).
Siapakah Pewarta Injil itu?
Siapakah seorang pewarta Injil itu? Menurut Paus Fransiksus, seorang pewarta Injil yang baik, adalah seseorang yang sudah mengalami perjumpaan secara pribadi dengan Yesus yang akan diwartakannya. Perjumpaan pribadi ini menjadi syarat mutlak bagi seseorang untuk mewartakan cinta kasih-Nya. Seseorang harus mengalami kasih dan cinta-Nya dalam kehidupan sehari-hari, serta menyadari bahwa kasih Yesus telah menyelamatkan dirinya (EG. 264).
Pengalaman keselamatan ini yang mendorong kita untuk selalu berbagi kasih-Nya. Menceritakan kepada orang lain, akan kasih Allah yang telah kita terima. Paus Fransiskus mengatakan “Jika kita tidak merasakan keinginan kuat untuk membagikan kasih ini, kita perlu berdoa lebih tekun sehingga Dia akan sekali lagi menyentuh hati kita. Kita perlu memohon rahmat-Nya setiap hari, seraya meminta-Nya membuka hati kita yang dingin untuk menyentuh hidup kita dan mendorong kita membagikan hidup-Nya” (bdk. EG. 264). Tidak ada yang lebih berharga yang dapat kita berikan kepada orang-orang lain.
Pewarta, yang dipenuhi Roh Kudus
Paus Fransiskus senantiasa berusaha untuk memberikan perhatian dan semangat kepada para pewarta Injil di babak baru ini, dengan tujuan agar para pewarta Injil dapat melakukan pewartaannya dengan penuh semangat, sukacita, murah hati, keberanian, kasih tak terbatas, dan daya tarik (bdk. EG. 261). Namun, beliau menyadari bahwa tak ada kata-kata penyemangat yang cukup, kecuali api Roh Kudus sendiri bernyala dalam diri si pewarta. “Evangelisasi yang penuh semangat adalah evangelisasi yang dibimbing oleh Roh Kudus, karena Dia adalah jiwa Gereja yang dipanggil untuk mewartakan Injil” (EG.261).
Seorang pewarta yang dipenuhi Roh Kudus, tidak akan melalui hidupnya dengan hanya memikirkan dirinya sendiri. Roh Kudus akan menolong dia meninggalkan hidup yang berpusat pada diri sendiri dan menerima hidup yang berpusat pada kemuliaan Tuhan. Roh Kudus tidak akan memperbolehkan seseorang hidup bagi dirinya sendiri, karena kasih Kristus akan mendorongnya, sehingga dia mau hidup bagi Dia yang sudah mati dan bangkit bagi-Nya. Siapakah yang melakukan hal itu? Roh Kudus. Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Filipi 2:13 berkata, “karena Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya.” Allah Roh Kudus yang berada dalam diri seseorang dan membuat cinta kasih yang tadinya tidak mungkin ia miliki, menjadi mungkin. Kasih memenuhi hatinya. Bukan saja demikian, Rasul Paulus mengatakan: “Pada waktu kita berada dalam sengsara dan penderitaan, Roh Kudus mencurahkan sesuatu secara merata dalam hati kita” (Rom. 5:6). Apa yang dicurahkan? Cinta kasih Allah. Ketika Roh memenuhi seseorang, maka cinta kasih Allah akan memenuhi hatinya. Tatkala Roh memenuhi seseorang, dia tidak akan digoyahkan oleh penderitaan, siksaan, sengsara, kematian, dan kesulitan duniawi karena cinta kasih Allah dicurahkan merata di dalam hatinya. Dengan cinta kasih itulah dia mengatasi segala penderitaan dan kesulitan.
Doa Menjadi Sumber Kekuatan Pewarta
Seorang pewarta Injil yang dipenuhi Roh Kudus adalah mereka yang mengandalkan doa dalam hidupnya. Menurut St. Yohanes Paulus II, “Doa pada hakikatnya mengingatkan kita akan keterbatasan kita dan ketergantungan kita kepada Allah: kita berasal dari Allah, kita hidup dari Allah, dan kita akan kembali kepada-Nya”. Dengan doa mengingatkan kita juga akan tugas perutusan kita. Melalui doa kita juga dapat memperbaharui perutusan kita. Doa yang benar akan menjadi sumber kekuatan dan semangat dalam melayani orang lain. Dengan kata lain, doa menumbuhkan semangat misioner dalam segala perutusannya.
Paus Fransiskus menegaskan, sebagai seorang pewarta Injil membutuhkan kemampuan untuk memupuk ruang batin dan memberi makna Kristiani pada komitmen dan kegiatan. Melalui doa-doa dan adorasi Sakramen Mahakudus menjadi bagaikan makanan setiap hari. Sabda Allah dalam doa menjadi sebuah perjumpaan yang memberikan kekuatan, menjadi saat-saat dialog dengan Tuhan, agar tidak kehilangan sebagai akibat dari kelelahan dan kesulitan (bdk. EG. 262).
Pewarta: Misionaris Belas Kasih Allah
Yesus datang ke dunia ini mewartakan cinta kasih Allah. Ia utusan Allah, Misionaris Agung Bapa. Dengan cinta-Nya, Ia memberikan teladan bagi kita, menjalankan tugas perutusan dari Bapa. Ia adalah misionaris sejati yang berbelas kasih, peduli kepada penderitaan orang banyak. Belas kasih ini mengalir dari hati Bapa yang mengutus-Nya.
Seperti yang dikatakan oleh Paus Fransiskus, bahwa “Seorang misionaris sejati, yang tidak pernah berhenti menjadi murid, mengerti bahwa Yesus berjalan bersamanya, berbicara kepadanya, bernafas bersamanya, bekerja dengannya. Ia merasakan Yesus hidup bersamanya di tengah-tengah upaya perutusan” (bdk. EG. 266). Maka, sebagai misionaris Yesus, menjadi sebuah keharusan untuk menjadi pelayan seperti Yesus, yang mempunyai hati yang luas, mengasihi orang-orang terutama yang miskin, tersingkir. Pendek kata, menjadi misionaris yang berbelas kasih, seperti Yesus sendiri belas kasih. Dengan kata lain, menjadi misionaris yang berbelas kasih, seperti Allah adalah belas kasih.
Pewarta: Penuh dengan Syukur
Rasul Paulus sebagai pewarta Injil, senantiasa bersyukur terutama ketika mengingat orang lain yang dilayaninya. Sebagai pewarta, ia membawa mereka dalam doa-doanya. Sikap ini terungkap juga dalam doa syukur pada Allah bagi orang lain: “Pertama-tama aku mengucap syukur kepada Allahku oleh Yesus Kristus atas kamu sekalian” (Rom. 1:8). Inilah ungkapan syukur yang terus-menerus: “Aku senantiasa mengucap syukur kepada Allahku karena kamu atas kasih karunia Allah yang dianugerahkan-Nya kepada kamu dalam Kristus Yesus” (1Kor. 1:4); “Aku mengucap syukur kepada Allahku setiap kali aku mengingat kamu” (Flp. 1:3). Jauh dari rasa curiga, negatif, dan putus asa, ini adalah pandangan rohani yang lahir dari kedalaman iman yang mengakui bahwa Allah sedang berkarya dalam hidup orang-orang lain. Pada saat yang sama, ini adalah ungkapan syukur yang mengalir dari hati yang penuh perhatian pada sesama. Ketika seorang pewarta Injil selesai berdoa, hatinya menjadi lebih terbuka, bebas dari keterasingan diri, dan berhasrat untuk melakukan kebaikan dan berbagi hidup dengan sesama (EG. 282).
Bagaimana dengan Kita?
Dengan pembaptisan yang kita terima, kita dipanggil dan diutus. Kita adalah pewarta-pewarta Injil yang hidup. Bagaimana caranya? Melalui contoh dan teladan hidup sehari-hari, kita dapat menjadi pewarta Injil yang hidup, karena Injil harus diwartakan melalui kesaksian hidup. Melalui kesaksian hidup sehari-hari, mengasihi, menolong orang lain, memberikan kekuatan, penghiburan dapat menjadi awal pewartaan Injil. Kehadiran kita, saling berbagi, saling menolong, kesetiakawanan, merupakan unsur hakiki, dan pada umumnya sebagai tanda pewartaan Injil (EG. 51). Semua orang Kristiani dipanggil untuk kesaksian itu, dan dengan demikian mereka menjadi pewarta Injil yang sejati.
Sr. Yohana SRM
(ilustrasi: http://www.strosenj.com)
Baca juga di Missio KKI edisi-58