Renungan Harian Misioner
Rabu Pekan Biasa IV, 01 Februari 2023
P. S. Brigida
Ibr. 12: 4-7,11-15; Mzm. 103:1-2,13-14,17-18a; Mrk. 6:1-6
Pada suatu hari Sabat, Yesus sedang berada di rumah ibadat, di Nazaret, tempat di mana Dia dibesarkan. Sekitar tiga puluh tahun Yesus tinggal di situ. Tempat itu dikenal-Nya dengan baik, dan penduduk Nazaret pun tentunya mengenal Dia dan keluarga-Nya. Mereka telah menyaksikan sendiri bagaimana Yesus hidup bersama-sama dengan mereka di kota itu. Yesus yang sebelumnya dikenal berasal dari keluarga tukang kayu, dengan mengejutkan kembali ke kota asal-Nya itu sebagai seorang Rabi, bahkan dengan didampingi oleh sejumlah murid.
Reaksi orang-orang Nazaret ketika mendengar Yesus mengajar di rumah ibadat sangatlah beragam. Ada yang bangga dan percaya kepada-Nya, namun kebanyakan menjadi heran dan bertanya-tanya. Bagaimana mungkin seorang tukang kayu memiliki kemampuan dan kuasa untuk mengajar Kitab Suci dengan begitu jelas dan penuh hikmat? Dalam budaya tradisi Yahudi, seorang tukang kayu, otomatis akan menguasai teknik-teknik perkayuan saja, dan tidak ada yang luar biasa dalam hal ini. Keheranan mereka timbul dari ketidakpercayaan, mereka tidak dapat menerima kenyataan bahwa Yesus, ‘Anak tukang kayu’ itu, ternyata bukan manusia biasa-biasa saja. Mereka juga tidak dapat menerima pesan Injil yang disampaikan-Nya, meskipun pesan itu dapat diteguhkan dalam mukjizat-mukjizat yang berasal dari kuasa ilahi. Mereka jelas-jelas menolak untuk percaya kepada-Nya, sekalipun mereka tidak dapat menyangkal segala kebenaran-Nya.
Alhasil, Yesus tidak dapat mengadakan banyak mukjizat di tempat itu. Ketidakpercayaan orang-orang itu membuat Yesus tidak mampu berkarya. Yesus menerima penolakan itu dengan heran, namun Ia tidak dapat berbuat apa-apa, karena dasar mukjizat adalah iman dalam diri seseorang. Yang menjadi masalah di sini adalah orang-orang yang menolak untuk percaya, bukan orang-orang yang belum percaya. Sebagian besar yang tinggal di tempat itu telah mengenal Yesus, mendengar pengajaran-Nya dan telah melihat mukjizat-mukjizat yang dibuat-Nya. Namun, mereka tetap memilih untuk tidak mau percaya. Tuhan tidak akan memaksa dengan menunjukkan banyak mukjizat kepada orang-orang semacam itu, karena karya Tuhan bukanlah untuk dijadikan bahan tontonan, melainkan sebagai buah iman.
Gaya hidup dan pola pikir orang-orang Nazaret itu tidak asing juga bagi kita pada masa kini. Kita pun sering mudah memberi label kepada orang lain hanya berdasar atas apa yang kita lihat dan pikirkan. Misalnya orang yang memiliki mobil mewah, tinggal di kompleks elit, menggunakan gawai bermerek tertentu, kita nilai sebagai orang sukses. Dan kita merasa pantas untuk ‘mengikuti dan mendengarkan’ orang-orang seperti ini. Sedangkan mereka yang terlihat bertolak-belakang dengan karakter itu, kita anggap sebagai orang yang tidak layak untuk kita dengarkan. Tampaknya seperti itu jugalah situasi Yesus dan para murid-Nya saat mendapatkan penolakan. Penilaian orang-orang terhadap Yesus hanya berdasarkan dari apa yang mereka lihat dan pikir mengenai kehidupan Yesus, bukan berdasarkan siapa sesungguhnya diri Yesus di balik tokoh “Anak tukang kayu”.
Penolakan ini oleh Yesus dijadikan pelajaran penting bagi para murid-Nya. Seperti halnya Yesus, ketika kita berhadapan dengan penolakan, maka kita harus mampu memaafkan. Tetaplah melakukan kebaikan di antara orang-orang (lih. Mrk. 6:6b), karena kuasa Allah akan menjadi nyata bila manusia mau bekerjasama dalam iman kepada-Nya. Jika manusia percaya, maka mukjizat akan terjadi. Yesus memperingatkan dengan terus terang, bahwa sebagai seorang pembawa Kabar Baik, kita harus siap menghadapi penolakan, bahkan dari orang-orang yang terdekat sekalipun.
Memang ganjaran yang diterima saat penolakan itu terjadi, tidak mendatangkan sukacita, tetapi tetaplah setia ‘memikul salib’ dan menyangkal diri. Mengikuti teladan-Nya, berkeliling mengajar dari ‘desa ke desa.’ Janganlah kita saling menghakimi lagi, tetapi ajarlah supaya jangan ada saudara kita jatuh atau tersandung lagi. Jika kita terus berlatih dalam Dia, maka apa yang kita wartakan akan berbuah kebenaran yang memberikan damai. Dengan hidup damai dengan semua orang, kita mengejar kekudusan, supaya pada akhirnya, kita beroleh kesempatan berjumpa dengan-Nya di dalam kekekalan (bdk. Luk. 9:23; Mrk. 6:6; Rm. 14:13; Ibr. 12:11,14). (ek)
(Antonius Ekahananta – Awam Katolik Pengajar Misi Evangelisasi)
Doa Persembahan Harian
Allah, Bapa kami, kepada-Mu kupersembahkan hari ini. Kuhunjukkan semua doa, pikiran, perkataan, tindakan maupun suka-dukaku hari ini dalam kesatuan dengan Putra-Mu Yesus Kristus, yang senantiasa mempersembahkan Diri-Nya dalam Ekaristi bagi keselamatan dunia. Kiranya Roh Kudus, yang menjiwai Yesus, juga menjadi Pembimbing dan Kekuatanku hari ini sehingga aku siap sedia menjadi saksi Kasih-Mu.
Bersama Santa Maria, Bunda Yesus dan Bunda Gereja, secara khusus aku berdoa bagi ujud-ujud Bapa Suci dan para rasul doa Gereja Indonesia untuk bulan ini:
Ujud Gereja Universal: Gereja-gereja paroki – Kita berdoa semoga Gereja-Gereja paroki mengutamakan persatuan dan persaudaraan, serta berkembang menjadi komunitas orang beriman. Semoga Gereja juga terbuka bagi mereka yang paling membutuhkan bantuan.
Ujud Gereja Indonesia: Pemulihan ekonomi – Kita berdoa, semoga pemerintah dan semua elemen masyarakat saling bahu membahu dalam mengambil langkah-langkah untuk mempercepat pemulihan ekonomi, sehingga dampaknya segera nyata dan terasa bagi kesejahteraan rakyat, lebih-lebih kalangan yang miskin dan berkekurangan.
Amin