Renungan Harian Misioner
Rabu Biasa XVIII, 03 Agustus 2022
P. S. Stefanus I
Yer. 31:1-7; MT Yer. 31:10,11-12ab,13; Mat. 15:21-28
Banyak orang berpegang dan percaya pada kalimat judul di atas dengan cara yang salah. Mereka tidak mau mendalami lebih dulu apa yang dimaksud oleh Yesus dengan pernyataan itu, sehingga kecewa dan marah apabila kehendaknya tidak menjadi kenyataan. Ada suatu anugerah yang diberikan Allah kepada orang yang meminta dengan rasa percaya, untuk mewujudkan pernyataan tersebut. Anugerah itu adalah iman, yang tidak sekadar diberikan kepada orang yang menuntutnya tanpa percaya dan hanya meminta tanda-tanda.
Setelah perdebatan yang panas antara Yesus dengan sekelompok orang Farisi dan ahli Taurat yang datang dari Yerusalem, Yesus menyingkir ke daerah Tirus dan Sidon. Daerah orang kafir yang pesisirnya dihuni oleh orang Kanaan. Penginjil Matius mengungkap pandangan positif tentang kedua kota ini, yang dianggapnya lebih ramah terhadap para Nabi daripada kota-kota lainnya di Galilea (Mat. 11:21). Kisah perempuan Kanaan ini membantu kita memahami relasi yang sulit antara orang Yahudi dan orang kafir. ‘Anak yang sakit’ melambangkan kelompok masyarakat yang tertindas oleh cara berpikir yang menekankan perbedaan agama, sosial, politik, dsbnya. Segala relasi menjadi terhambat oleh peraturan-peraturan kesucian ritual yang rumit. ‘Anak’ inilah yang dikehendaki perempuan itu untuk disembuhkan.
Yesus pergi keluar dari Yerusalem karena terdorong oleh situasi di mana Ia tidak menemukan iman di sana. Sebaliknya, imanlah yang menyebabkan perempuan Kanaan ini keluar dari daerah ke‘kafir’an untuk menjumpai Yesus. Suatu pemahaman baru bahwa sebagai murid Yesus, kita harus bebas, keluar dari mentalitas suci-najis jika ingin memahami Yesus. Perempuan yang dianggap pantas ditolak karena kafir, najis, dan musuh bangsa Israel itu sendiri memandang Yesus sebagai pewaris Raja Israel yang pernah mengusir orang Kanaan dari tanah mereka. Ia menempatkan dirinya sebagai orang yang tidak kebagian keselamatan yang dibawa oleh Mesias, keturunan Daud. Tetapi dia bersikukuh meminta campur tangan Yesus menyembuhkan ‘anak’nya lewat doa yang paling mendasar: “Kasihanilah aku.” Ungkapan doa yang memohonkan perlakuan belas kasihan khusus agar ia beroleh anugerah belaka, bukan tuntutan atas hak.
Tanggapan Yesus adalah diam. Bahkan murid-murid-Nya meminta-Nya untuk mengusir perempuan itu. Selama hidup-Nya, Yesus membatasi misi-Nya pada Israel yang hilang. Yesus menantikan jawab Israel atas panggilan-Nya untuk membawa anugerah keselamatan Allah kepada orang lain. Para murid jelas kurang mampu mengambil bagian pada masalah-masalah orang lain. Inilah misteri Inkarnasi yang menjadi pusat iman kita. Di mana pewartaan Gereja (para murid) seharusnya menjadi saluran berkat dan terang keselamatan bagi segala bangsa. Namun Gereja selalu digoda untuk menganggap Tuhan itu miliknya pribadi, sehingga tidak mau berbagi ‘warisan’ dengan sesama saudaranya.
Perempuan Kanaan itu mendekat dan menyembah Dia. Tindakan ini mengingatkan bahwa orang-orang pertama yang pernah datang dan menyembah Yesus adalah para Majus, mereka pun orang-orang kafir, seperti perempuan Kanaan itu (Mat. 2:2,8,11). Yesus masih mengelak dengan mengatakan bahwa Roti Perjanjian tidak diperuntukkan bagi ‘anjing’ (sebutan orang Yahudi bagi orang kafir). Namun keteguhan iman perempuan Kanaan itu mendorongnya untuk memanggil Tuhan ketiga kalinya saat itu. Pernyataan iman yang berbeda dengan para murid yang belum lama menyangka Yesus adalah hantu! (Mat. 14:26).
Perempuan yang tidak hidup bersama dengan Yesus, ternyata lebih mengerti apa yang tidak dipahami oleh para murid yang senantiasa menyertai-Nya. Dengan mental yang diajarkan Yesus sendiri, perempuan Kanaan itu tidak lagi meminta. Ia mengingatkan bahwa meski perbedaan itu tetap ada, belaskasih harus lebih dulu diterapkan. Apapun perbedaan agama dan kepercayaan kita, kita tidak dapat menolak untuk mewujudkan tindakan belas kasih dan kebaikan. Sebab ketika kita mampu menunjukkan belas kasih, kita telah melampaui hambatan-hambatan keagamaan dan prasangka-prasangka rasial. Dan dengan demikian anugerah keselamatan itu dinyatakan sebagai anugerah Allah melalui Yesus semata, bukan hak suatu bangsa, atau kelompok saja.
Pemahaman bahwa kehidupan orang lain lebih utama dari perbedaan dan prasangka apapun, mendapat pujian dari Yesus karena memperlihatkan iman yang begitu besar. Peristiwa yang juga mengingatkan kita akan iman perwira di Kapernaum. Yesus, yang hakikat-Nya adalah Anugerah itu sendiri tidak berbuat apa-apa. Iman itu anugerah, tetapi untuk memiliki iman yang benar kita tidak boleh salah meminta. Hati perempuan ini disucikan dan menyatu dengan Allah Sang Pemberi hidup karena telah bermurah hati terhadap orang lain. Jika kita mampu menerima pengajaran Yesus, sama seperti perempuan ini, kita pun dibebaskan dari prasangka-prasangka dan mampu bermurah hati kepada sesama. Sehingga dengan iman, keinginan agar ‘anak’ kita disembuhkan akan terjadi. (ek)
(Antonius Ekahananta – Awam Katolik Pengajar Misi Evangelisasi)
DOA PERSEMBAHAN HARIAN
Allah, Bapa kami, kepada-Mu kupersembahkan hari ini. Kuhunjukkan semua doa, pikiran, perkataan, tindakan maupun suka-dukaku hari ini dalam kesatuan dengan Putra-Mu Yesus Kristus, yang senantiasa mempersembahkan Diri-Nya dalam Ekaristi bagi keselamatan dunia. Kiranya Roh Kudus, yang menjiwai Yesus, juga menjadi Pembimbing dan Kekuatanku hari ini sehingga aku siap sedia menjadi saksi Kasih-Mu.
Bersama Santa Maria, Bunda Yesus dan Bunda Gereja, secara khusus aku berdoa bagi ujud-ujud Bapa Suci dan para rasul doa Gereja Indonesia untuk bulan ini:
Ujud Gereja Universal: Usaha skala kecil dan menengah
Kita berdoa untuk usaha skala kecil dan menengah, semoga, di tengah krisis ekonomi dan sosial, mereka dapat menemukan jalan untuk meneruskan usahanya dan melayani masyarakat.
Ujud Gereja Indonesia: Sarana penyaluran donasi yang terpercaya
Kita berdoa, semoga kelompok-kelompok masyarakat mampu membentuk sarana yang dapat dipercaya untuk menyalurkan kebaikan dan donasi dari mereka yang berkehendak baik kepada mereka yang membutuhkan.