Katekese Unsur-unsur Pembedaan Roh [5]
Kehendak
Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!
Dalam katekese tentang pembedaan roh ini kita meninjau kembali unsur-unsur pembedaan roh. Setelah doa, unsur pertama, dan pengenalan diri, unsur kedua, yaitu berdoa dan mengenal diri sendiri, hari ini saya ingin berbicara tentang “ramuan” lain yang sangat diperlukan: hari ini saya ingin berbicara tentang kehendak. Kenyataannya, pembedaan roh adalah suatu bentuk pencarian, dan pencarian selalu berasal dari sesuatu yang tidak kita miliki tetapi entah bagaimana diketahui, yang kita intuisikan.
Pengetahuan macam apa ini? Guru spiritual menyebutnya dengan istilah “kehendak”, yang pada dasarnya adalah nostalgia akan kepenuhan yang tidak pernah menemukan pemenuhan sepenuhnya, dan merupakan tanda kehadiran Allah dalam diri kita. Kehendak tidak bersifat sesaat, tidak demikian. Kata Italia, desiderio, berasal dari istilah Latin yang sangat indah, ini aneh: de-sidus, secara harfiah “ketiadaan bintang”. Kehendak adalah tidak adanya penunjuk jalan, tidak adanya titik acuan yang mengarahkan jalan kehidupan; kehendak membangkitkan penderitaan, kekurangan, dan pada saat yang sama ketegangan untuk mencapai kebaikan yang kita lewatkan. Maka, kehendak adalah kompas untuk memahami di mana kita berada dan ke mana saya pergi, atau lebih tepatnya kompas untuk memahami apakah saya diam atau bergerak; orang yang tidak pernah mengingini adalah orang yang statis, mungkin sakit, hampir mati. Kompas untuk mengetahui apakah saya bergerak atau apakah kita berdiri diam. Dan bagaimana mungkin untuk mengenalinya?
Marilah kita berpikir, kehendak yang tulus tahu bagaimana menyentuh secara mendalam paduan nada keberadaan kita, itulah sebabnya kehendak itu tidak padam dalam menghadapi kesulitan atau rintangan. Seperti ketika kita haus: jika kita tidak menemukan sesuatu untuk diminum, kita tidak menyerah; sebaliknya, kerinduan semakin menguasai pikiran dan tindakan kita, hingga kita rela berkorban apapun untuk memadamkannya, nyaris terobsesi. Rintangan dan kegagalan tidak melumpuhkan kehendak, tidak; sebaliknya, membuatnya lebih hidup dalam diri kita.
Tidak seperti emosi sesaat, kehendak bertahan melewati waktu, bahkan waktu yang lama, dan cenderung terwujud. Jika, misalnya, seorang anak muda ingin menjadi dokter, ia harus memulai studi dan pekerjaan yang akan menghabiskan beberapa tahun dalam hidupnya, dan akibatnya harus menetapkan batasan, katakan “tidak ”, mengatakan “tidak”, pertama-tama untuk program studi lain, tetapi juga kemungkinan pengalihan dan gangguan, terutama selama periode studi yang paling intens. Namun, kehendak untuk memberikan arah hidup dan mencapai tujuan itu – menjadi seorang dokter contohnya – memungkinkannya untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ini. Kehendak membuatmu kuat, kehendak membuatmu berani, kehendak membuatmu terus maju, karena kamu ingin sampai pada hal itu: “Saya menghendaki hal itu”.
Akibatnya, suatu nilai menjadi indah dan lebih mudah dicapai apabila menarik. Seperti dikatakan sebagian orang, “lebih penting daripada menjadi baik adalah memiliki kehendak untuk menjadi baik”. Menjadi baik adalah sesuatu yang menarik, kita semua ingin menjadi baik, tetapi apakah kita memiliki kehendak untuk menjadi baik?
Sangat mengejutkan bahwa Yesus, sebelum melakukan mukjizat, seringkali bertanya kepada orang tersebut tentang kehendak mereka: “Maukah engkau sembuh?”. Dan terkadang pertanyaan ini tampak tidak pada tempatnya, jelas orang tersebut sakit! Misalnya, ketika Ia bertemu dengan orang lumpuh di kolam Betesda, yang telah berada di sana selama bertahun-tahun dan tidak pernah berhasil memanfaatkan saat yang tepat untuk masuk ke dalam air, Yesus bertanya kepadanya, ”Maukah engkau sembuh?” (Yoh 5:6). Tetapi bagaimana bisa? Kenyataannya, jawaban si lumpuh mengungkapkan serangkaian penolakan aneh terhadap penyembuhan, yang tidak hanya berhubungan dengannya. Pertanyaan Yesus adalah undangan untuk membawa kejelasan ke dalam hatinya, untuk menyambut kemungkinan lompatan ke depan: bukan lagi perihal dirinya dan hidupnya “sebagai orang lumpuh”, yang dibopong oleh orang lain. Tetapi orang di tempat tidur tampaknya tidak begitu yakin akan hal ini. Dengan terlibat dalam dialog dengan Tuhan, kita belajar memahami apa yang benar-benar kita inginkan dari kehidupan. Orang lumpuh ini adalah contoh khas dari mereka yang mengatakan “Ya, ya, aku mau, aku mau, aku mau”, tetapi kemudian “Aku tidak mau, aku tidak mau, aku tidak mau, aku tidak mau melakukan apapun”. Ingin melakukan sesuatu menjadi seperti khayalan dan tidak mengambil langkah untuk melakukannya. Orang-orang yang mau dan tidak mau. Ini tidak baik, dan orang sakit itu, di sana selama tiga puluh delapan tahun, tetapi selalu menggerutu; “Tuhan, tidak ada orang yang menurunkan aku ke dalam kolam itu apabila airnya mulai goncang, dan sementara aku menuju ke kolam itu, orang lain sudah turun mendahului aku”, serta ia mengeluh dan meratap. Tetapi waspadalah, karena keluhan adalah racun, racun bagi jiwa, racun bagi kehidupan, karena mereka menghalangi kehendak untuk terus berkembang. Waspadalah terhadap keluhan. Ketika kita mengeluh dalam keluarga, pasutri mengeluh, yang satu mengeluhkan tentang yang lain, anak-anak tentang ayah mereka, imam tentang uskupnya, atau uskup tentang banyak hal lainnya … Tidak, jika kamu menemukan dirimu menggerutu, berhati-hatilah, itu merupakan dosa, karena menghentikan kehendak untuk tumbuh.
Seringkali memang kehendak yang membuat perbedaan antara proyek yang sukses, koheren dan langgeng, dan ribuan kehendak dan niat baik, yang seperti yang mereka katakan, “jalan neraka”: “Ya, saya ingin, saya ingin , saya ingin…”, tetapi Anda tidak melakukan apa-apa. Era di mana kita hidup tampaknya mempromosikan kebebasan memilih yang maksimal, tetapi pada saat yang sama itu mengecilkan kehendak, Anda ingin dipuaskan terus-menerus, yang sebagian besar direduksi menjadi kehendak saat ini. Dan kita harus berhati-hati agar tidak mengecilkan kehendak. Kita dibombardir oleh ribuan proposal, proyek, kemungkinan, yang berisiko mengalihkan perhatian kita dan tidak memungkinkan kita untuk dengan tenang mengevaluasi apa yang sebenarnya kita inginkan. Sering kali, kita menemukan orang, berpikir tentang kaum muda misalnya, dengan telepon di tangan mereka, melihatnya… “Tetapi apakah kamu berhenti untuk berpikir?” – “Tidak”. Selalu menghadap ke luar, ke arah yang lain. Kehendak tidak dapat tumbuh dengan cara ini, kamu hidup pada saat ini, kenyang pada saat ini, dan kehendak tidak tumbuh.
Banyak orang menderita karena mereka tidak tahu apa yang mereka inginkan dari hidup mereka, banyak dari mereka; mereka mungkin tidak pernah berhubungan dengan kehendak terdalam mereka, mereka tidak pernah tahu: “Apa yang kamu inginkan dari hidupmu?” – “Aku tidak tahu”. Karenanya risiko melewati keberadaan kita di antara berbagai usaya dan upaya, tidak pernah ke mana-mana, dan menyia-nyiakan peluang berharga. Dan perubahan tertentu, meskipun secara teoris diinginkan, ketika kesempatan muncul tidak pernah dilaksanakan, tidak ada kehendak kuat untuk mengejar sesuatu.
Jika Tuhan bertanya kepada kita, hari ini, misalnya, salah serorang dari kita, pertanyaan yang Ia ajukan kepada orang buta di Yerikho: “Apa yang kaukehendaki supaya Aku perbuat bagimu?” (Mrk 10:51) – marilah kita berpikir bahwa hari ini Tuhan bertanya kepada kita masing-masing: “Apa yang kaukehendaki supaya Aku perbuat bagimu?” – bagaimana kita akan menjawabnya? Mungkin kita akhirnya bisa meminta Dia untuk membantu kita mengetahui kehendak terdalam kita, yang telah ditempatkan Allah sendiri di dalam hati kita: “Tuhan, bolehkah aku mengetahui kehendakku, semoga aku menjadi seorang perempuan, seorang laki-laki dengan kehendak besar”; mungkin Tuhan akan memberi kita kekuatan untuk mewujudkannya. Sebuah rahmat yang luar biasa, dasar dari semua yang lain: memperkenankan Tuhan, seperti dalam Injil, untuk melakukan mukjizat bagi kita: “Berilah kami kehendak dan buatlah kehendak itu tumbuh, Tuhan”.
Karena Ia juga memiliki kehendak yang besar untuk kita: membuat kita ambil bagian dalam kepenuhan hidup-Nya. Terima kasih.
Sapaan Khusus
Saya menyapa para peziarah berbahasa Inggris yang ambil bagian dalam Audiensi hari ini, terutama yang berasal dari Inggris, Denmark, Finlandia, Norwegia, Belanda, Ghana, Vietnam dan Amerika Serikat. Atas kamu semua saya memohonkan sukacita dan damai sejahtera Kristus, Tuhan kita. Allah memberkatimu!
Seruan Bapa Suci
Pada hari-hari ini hati saya selalu bersama rakyat Ukraina, terutama penduduk di tempat-tempat di mana pengeboman telah berkecamuk. Saya membawa dalam diri saya penderitaan mereka dan, dengan perantaraan Santa Bunda Allah, saya mempersembahkannya dalam doa kepada Tuhan. Ia selalu mendengarkan jeritan kaum miskin yang memanggil-Nya: semoga Roh-Nya mengubah hati orang-orang yang memegang hasil perang di tangan mereka, sehingga badai kekerasan dapat terhenti, dan hidup berdampingan secara damai, dalam keadilan, dapat terwujud dan dibangun kembali.